Jurnal Pendidikan :)
Isi Jurnal:
Pendididikan merupakan salah investasi
dalam jangka waktu yang panjang. Dalam kurun waktu tuterakhir, sektor
pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Berdasarkan
data yang tersedia, jumlah mahasiswa terdaftar terus mengalami kenaikan
setidaknya sejak tahun ajaran 2006/2007. Kenaikan jumlah mahasiswa tersebut
turut disertai dengan kenaikan pengeluaran untuk pendidikan tinggi.
Pasca
krisis ekonomi yang menimpa Indonesia, tahun 1999 pemerintah mengeluarkan PP
No. 61 tahun 1999 yang berisikan tentang ide untuk otonomi institusi pendidikan
tinggi, jadi institusi perguruan tinggi diberikan hak untuk mengelola
perekonomiannya sendiri. Peran pemerintah di sini sebagai pembeli jasa, tak
lagi sebagai pemilik. Dalam bentuk
BHP, Perguruan Tinggi diperbolehkan untuk melakukan investasi dalam bentuk
portofolio dan badan usaha berbadan hukum untuk mendapatkan tambahan pendanaan
untuk biaya operasional. Perguruan Tinggi sebagai BHP ini tata kelola
keuangannya menggunakan tata kelola keuangan Badan Layanan Umum (BLU).
Dalam
UU tentang BHP ini biaya yang ditanggung mahasiswa maksimal sepertiga dari
biaya operasional. Biaya Operasional menurut Badan Standar Nasional Pendidikan
meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan, bahan atau peralatan habis
pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung seperti listrik, air,
telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi,
konsumsi, pajak, dan lain sebagainya. Jadi besarnya tanggungan biaya mahasiswa
tergantung pada besarnya biaya operasional dari Perguruan Tinggi.
Beberapa
ahli berpendapat bahwa transformasi struktur organisasi perguruan tinggi
menjadi BHMN sebagai bagian dari BHP (Badan Hukum Pendidikan) bukanlah
kapitalisasi atau privatisasi pada sektor pendidikan. Secara konseptual memang
demikian, konsep BHMN dengan tata kelola administrasi BLU (Badan Layanan Umum)
dirancang agar perguruan tinggi memiliki otonomi untuk berkembang di mana
institusi perguruan tinggi diperbolehkan menatausahakan keuangannya sendiri
dengan transparansi yang cukup jelas sebagaimana diatur dalam UU no 20 tahun
2003 tersebut. Pandangan negatif mengenai BHMN tersebut dipicu karena adanya gap
hukum dan ambiguitas. Hukum keuangan negara no 17 tahun 2003 tidak
mencantumkan pembiayaan publik untuk institusi otonomi, padahal bagaimana
mungkin intitusi perguruan tinggi negeri tidak dibiayai pemerintah bila staff dan sumber
dayanya merupakan pegawai negeri. Ambiguitas inilah yang memicu masyarakat
menilai negatif struktur perguruan tinggi BHMN, dikhawatirkan universitas yang
bertransformasi menjadi BHMN akan menjadi mahal karena otonomi kampus yang
diperkirakan akan serba mandiri dalam hal pembiayaan.
Alasan mengapa perguruan tinggi
menaikkan harga diantaranya adalah peningkatan mutu perguruan tinggi akibat
pasar pendidikan yang competitive. Harga naik bisa jadi disebabkan
karena perbaikan mutu produksi dari perguruan tinggi. Selanjutnya yaitu perbedaan mixing pada
berbagai disiplin ilmu. Masing-masing disiplin ilmu menghabiskan biaya yang
berbeda-beda, misalnya biaya di fakultas kedokteran relatif lebih besar
daripada di fakultas budaya. Jika pada suatu tahun permintaan di fakultas
kedokteran meningkat tajam dibanding di fakultas budaya, maka aggregate cost
akan naik pula. Faktor lainnya yang mempengaruhi perguruan tinggi untuk
menaikkan harganya adalah kenaikan gaji dan kualitas manajemen perguruan tinggi
dalam mengelola aset serta regulasi
pemerintah yang menciptakan ekspektasi terhadap pendidikan tinggi.
Universitas
Brawijaya sendiri mengusulkan proposal BHMN pada tahun 2004 dan setelah melalui
proses peninjauan baru disetujui tahun 2007. Sementara UM, tetap dengan
statusnya sebagai universitas dengan sistem tata keuangan BLU pada tahun
tersebut. Bersamaan dengan persetujuan status BHMN di UB tersebut, permintaan
bangku kuliah di UB menurun. Meskipun SNMPTN merupakan jalur paling murah,
masyarakat mengkhawatirkan kenaikan biaya yang signifikan pada UB setelah
menyandang status BHMN. Kemudian nama BHMN tersebut disempurnakan menjadi BHPP
(Badan Hukum Pendidikan Pemerintah) karena adanya penyempurnaan gap hukum
seperti yang dijelaskan tadi. Dengan bentuk BHPP, entitas pendidikan tinggi
melakukan pengelolaan pendanaan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) dimana
ada sinergi antara pemerintah dengan masyarakat untuk melakukan pembiayaan
pendidikan tinggi.
Komentar:
Pada pasar pendidikan, nampak bahwa teori yang disebutkan
sebelumnya tidak berpengaruh dalam permintaan pendidikan di daerah Jawa Timur. Di
Malang tingkat biaya naik, tapi tetap permintaan akan bangku perkuliahan juga
naik, berarti masyarakat telah beranggapan bahwa pendidikan tingkat Universitas
begitu penting. Sedangkan, konsumen pendidikan tinggi di negara maju
sangat memperhitungkan opportunity cost dalam mengenyam pendidikan
tinggi. Berkebalikan dengan
di
Indonesia sebagai negara berkembang, pendidikan tinggi dianggap sebagai batu
pijakan untuk memperbaiki taraf hidup tanpa memperhitungkan opportunity cost
nya. Alasan masyarakat menganggap pendidikan
sebagai investasi diantaranya sebagai harapan bagi seorang
siswa yang lebih terdidik untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang
lebih baik pada sektor modern di masa yang akan datang serta biaya-biaya
pendidikan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, yang harus
dikeluarkan atau ditanggung oleh siswa dan / atau keluarganya.
Dewasa ini, jalur masuk perguruan tinggi negeri dibagi
menjadi dua jalur, yakni jalur reguler
dan jalur non-reguler. Dibukanya
jalur non-reguler sebagai akibat
tidak terserapnya calon mahasiswa pada jalur reguler. Namun selisih harga yang tinggi pada
kedua jalur berpotensi untuk menimbulkan kecurangan-kecurangan atau jalan pintas tak berarah. Hal
ini bisa menjadi ironi atas tujuan pembukaan jalur non reguler yang secara ekonomis adalah memanfaatkan biaya dari calon mahasiswa tersebut. Uang pangkal yang
tinggi dari calon mahasiswa pada umumnya akan diprioritaskan oleh perguruan
tinggi untuk masuk lewat jalur non-reguler.
Sungguh tidak adil, jika yang daftar merupakan masyarakat golongan menengah ke
bawah, yang secara tidak langsung akan tergeser oleh masyarakat golongan atas.
Jika kita kaitkan dengan kebijakan pemerintah yang baru,
menurut
UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada pasal 88 ayat 1 huruf c
menjelaskan bahwa pemerintah menentukan
satuan biaya operasional pendidikan harus mengikutsertakan indeks kemahalan
wilayah. Ini artinya sekalipun kebutuhan di setiap kampus sama, namun biayanya
harus menyesuaikan wilayah masing-masing. Kebutuhan di Universitas Indonesia
yang 2 juta perbulan pasti akan berbeda dengan Universitas Jenderal Soedirman
yang 850 ribu perbulan, karena UI berlokasi di Kota Depok dan Jakarta sedangkan
Unsoed berlokasi di Kabupaten Banyumas.
Juga
dalam pasal 88 ayat (4) UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi,
disebutkan bahwa biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orangtua
Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Ini artinya setiap mahasiswa
tidak boleh dipukul rata beban biaya kuliahnya. Ada aspek-aspek yang perlu
diperhatikan yakni ekonomi mahasiswa itu sendiri dan aspek-aspek lain yang
mempengaruhi mahasiswa. Sehingga sebelum seorang mahasiswa ditagih biaya
kuliahnya, perguruan tinggi yang bersangkutan harus responsif menyesuaikan
antara biaya kuliah dengan keadaan ekonomi mahasiswa.
Tapi pada kenyataannya, tetap saja banyak masyarakat yang
tidak dapat mengenyam bangku perkuliahan, dengan alasan UKT yang terlalu mahal
sehingga lebih memprioritaskan langsung bekerja. Padahal masyarakaat saat ini
telah mengetahui begitu pentingnya pendidikan sebagai salah satu bentuk usaha
peningkatan taraf hidup masyarakat. Hal ini harus dibenahi oleh pemerintah dan
perguruan tinggi untuk transparansi alokasi biaya dari calon mahasiswa sehingga
jelas alur dana yang mereka berikan benar-benar disalurkan sesuai dengan
kebutuhan tidak berlebihan. Masyarakat golongan menengah ke bawah beranggapan
bahwa sistem biaya saat ini tidak efektif. Maka dari itu, perlu ada strategi
lain dari pemerintah dan perguruan tinggi untuk mengubah paradigma masyarakat
mengenai sistem biaya masuk perguruan tinggi secara transparan. Lebih perluas
informasi kembali mengenai dana dari masing-masing perguruan tinggi secara
relevan.
Komentar